Dracula, Pembantai Umat Islam dalam Perang Salib

|

Membaca buku setebal 192 halaman ini sangat
menarik. Sampul bukunya berwarna coklat yang
memudar menandakan aroma gothic yang begitu
kental. Judul besarnya dengan embos warna merah
menyala memang menarik mata untuk mengambilnya. Apalagi setelah membaca judulnya,
Dracula. Memang awalnya akan mengira bahwa buku
ini buku misteri seperti halnya buku tentang Dracula
lainnya. Akan tetapi, judul kecil yang berbunyi
"Pembantai Umat Islam dalam Perang Salib", tentu
segera membuat yang memegang buku ini ingin segara untuk membaca keterangan di sampul
belakang. Setelah membaca kata demi kata di
sampul belakang maka akan segera mengetahui
bahwa buku ini berbeda dengan buku sejenis lainnya, semisal buku Dracula
karya Bram Stoker.

Buku karya Hyphatia Cneajna ini, nama yang tentunya agak asing bagi telinga
orang Indonesia, yang lengkapnya berjudul Dracula, Pembantai Umat Islam
dalam Perang Salib, bukan karya fiksi, tapi buku sejarah. Mungkin saja karena
selama ini kisah tentang Dracula sudah lekat dengan vampir yang haus darah,
maka penerbit buku ini perlu menambahkan kalimat "Kisah Kebiadaban Count
Dracula yang disembunyikan Selama 500 Tahun". Memang buku ini buku
sejarah yang memaparkan riwayat Vlad Tepes atau kemudian dikenal dengan
nama Dracula secara mendetail.

Bab I, yang merupakan pendahuluan, memaparkan tentang latar belakang
Perang Salib. Perang yang terjadi hampir selama 5 abad ini telah banyak
memakan korban, baik dari pihak Kristen maupun Islam. Dalam babakan
terakhir perang tersebut, kekuatan yang terlibat dalam pertempuran semakin
mengerucut, yaitu Kerajaan Honggaria—sebagai wakil Kristen—melawan
Kerajaan Turki Ottoman/Usmaniah— sebagai wakil Islam. Dalam situasi inilah
Dracula dilahirkan.

Riwayat hidup Dracula dibahas secara
mendalam dalam Bab II. Nenek moyang Dracula, Randu Negru, merupakan
pendiri kerajaan Wallachia, sebuah kerajaan yang dibatasi oleh Sungai
Danube dan Pegunungan Carphatia. Kalau dilihat dalam peta dunia saat ini,
Wallachia menjadi bagian dari negara Rumania. Randu Negru kemudian
beranak pinak di wilayah tersebut. Salah satu keturunannya adalah
Basarab/Vlad Dracul—"Dracul" berarti "naga"— yang merupakan ayah
Dracula. Dracula merupakan anak kedua dari Vlad Dracul. Dracula mempunyai
nama asli Vlad Tepes. Nama Dracula sendiri berasal dari bahasa Rumania,
Draculea. Akhiran "ea" dalam bahasa Rumania berarti "anak dari", jadi
Draculea berarti anak dari Dracul.

Sebagai anak yang sering ditinggal ayahnya dalam keberbagai peperangan
membuat Dracula tumbuh menjadi pribadi yang tidak bahagia.
Ketidakbahagiaan ini semakin bertambah ketika pada umur 11-12 tahun ia
harus menjadi tawanan Kerajaan Turki Ottoman. Walaupun di Turki ia
diperlakukan dengan baik namun Dracula merasa bahwa dirinya telah
dicampakkan dari masa kecil, kampung halaman, ibu serta keluarganya. Dari
sinilah rasa dendam Dracula terhadap Kerajaan Turki Ottoman bermula.
Hampir selama 5 tahun Dracula berada di Turki. Ketika usinya beranjak 17
tahun ia dikirim oleh Kerajaan Turki Ottoman untuk mengisi kekosongan tahta
Wallachia setelah kematian kakaknya. Tahta Wallachia pun akhirnya bisa ia
duduki. Dan, sejak berkuasa inilah kekejaman Dracula mulai tampak. Selama
masa pemerintahannya yang berlangsung hanya 6 tahun ia telah membantai
kurang lebih 500.000 penduduk Wallachia. Tentu saja jumlah korban tersebut
tidak bisa dikatakan kecil dalam konteks abad pertengahan.

Sebagian besar korban pembantaian Dracula dibunuh
dengan cara yang keji. Sebelum dibunuh mereka
disiksa terlebih dahulu. Macam-macam penyiksaan
Dracula tersebut dibahas dalam Bab III buku ini.
Metode penyiksaan yang digunakan Dracula untuk
menyiksa korban-korbannya antara lain penyulaan,
merebus korban hidup-hidup, memaku kepala korban,
menjerat leher korban, merusak organ vital
perempuan, dan beberapa metode penyiksaan lain yang tak kalah kejam. Di

antara metode penyiksaan tersebut penyulaan merupakan yang paling
terkenal. Penyulaan merupakan penyiksaan dengan cara memasukkan
kayu—sebesar lengan tangan orang dewasa yang telah dilancipkan
ujungnya—ke dalam anus. Setelah sula masuk kemudian tubuh korban
dipancangkan sehingga kayu sula terus masuk menembus tubuh korban
hingga tembus ke bagian leher, punggung, atau kepala. Biasanya penyiksaan
semacam ini dilakukan oleh Dracula secara massal, sehingga sekali melakukan
"upacara" penyulaan jumlah korbannya bisa mencapai 2.000 orang.

Di antara korban-korban Dracula sebagian besar adalah umat Islam. Siapa
saja umat Islam yang menjadi korban Dracula dijelaskan dalam Bab IV.
Hyphatia memperkirakan jumlah korbannya mencapai 300.000 orang. Mereka
ini sebagian besar merupakan pendukung Kerajaan Turki Ottoman yang berada
di wilayah Wallachia. Sebagian besar korban tersebut dibunuh dengan cara
disula, sebagian yang lain dibunuh dengan cara dibakar hidup-hidup, diracuni
dan disiksa dengan cara yang lain. Masa inilah dikenal di Wallachia sebagai
masa teror yang paling mengerikan.

Masa teror terhadap umat Islam dan penduduk
Wallachia baru berakhir ketika Dracula terbunuh. Tentang di mana Dracula
terbunuh dan kuburannya dipaparkan di Bab V. Dalam bab ini dibedah segala
mitos yang melingkupi Dracula, termasuk kuburan Dracula yang setelah digali
ternyata tak ada jasadnya lagi. Pun, dibahas tentang kematian- kematian
misterius yang menimpa penduduk Wallachia dan sekitarnya setelah kematian
Dracula, yang konon kabarnya kematian tersebut ada hubungannya dengan
Dracula.

Segala bentuk kekejaman Dracula yang dipaparkan dalam bab demi bab buku
ini masih tertutupi hingga kini. Sampai saat ini Dracula lebih dikenal sebagai
vampir yang haus darah daripada pembunuh berdarah dingin. Hal ini terjadi
karena Barat memang berusaha mengaburkan kisah hidup Dracula yang
sesungguhnya. Mengapa Barat berusaha keras menyembunyikan jadi diri
Dracula? Apa hubungan Dracula dengan bawang putih dan salib dalam konteks
penjajahan sejarah? Mengapa pembunuh Dracula yang sebenarnya tidak
banyak ditampilkan? Semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut
diuraikan dengan tuntas oleh Hyphatia di Bab VI karyanya.

Buku karya Hyphatia Cneajna ini menarik karena dua hal. Pertama, buku ini
menampilkan fakta-fakta yang belum banyak diketahui oleh masyarakat secara
luas. Pada saat membacanya segala fakta-fakta yang ada dalam buku ini ibarat
tamparan yang membuat kita sadar bahwa selama ini sosok Dracula

merupakan sosok nyata yang kemudian lebih dikenal sebagai sosok fiski.
Kedua, buku ini mengajak kita untuk selalu kritis terhadap sejarah. Sebuah
sejarah yang seakan-akan sudah menjadi kebenaran ternyata seringkali berisi
kebohongan- kebohongan. Dengan dua kelebihan ini—dan tentunya dengan
kekurangan yang ada di dalamnya—buku ini layak dibaca oleh seluruh lapisan
masyarakat. [*]

 

©2009 ASRES blog's | Template Blue by TNB